Bahagia Beracun

Terik amarah menyengat, bau-bau ketidaksabaran mulai menggerogoti nafsu.
Sebagian, telah terlena oleh kesenangannya, mengimajinasikan angan-angan kosong, melompong.
Tak ada lagi sandaran kepercayaan bahagia tentang hidup, selain pada penghisap mematikan.

Ketika kecil, timangan orang terkasih menentramkan hati, uluran tangan lembut tergapai manja. Riuh tawa dan canda adalah pengikat jiwa. Baginya, bahagia ada bersama lingkaran keluarga.

Namun, ketika satu persatu mulai mengakrabkan diri dengan kesibukan, naluri kebersamaannya mulai meronta. Ingin memanggil kembali percuma, yang ada hanya senyuman untuk me(nanti). Ada pertengkaran ketika kesalahpahaman, ada kemarahan ketika keegoisan bertahan.

Sendirinya mulai melukai pedih, membunuh sebagian percaya tentang bahagia itu keluarga, bahagia itu teman, bahagia itu sahabat, semuanya mati.

Saat itulah, tangan-tangam bengis mulai menawarkan 'bahagia beracun'. Menuntunnya perlahan, menelusuri, mengikuti jejak yang merasa ditinggalkan.

Satu, dua hingga semua merasa senasib, maka kebersamaan itu tercipta dari ruang kesepian. Sama-sama ditinggalkan, ditelantarkan tanpa sebab, dikucilkan tanpa pengertian.

Hingga mulailah episode 'bahagia beracun' menawarkan posisi.
Mengiming-imingi tentang nikmat hakiki padahal berujung merugi.
Sebab, ketika ingatan keluarga telah mati, segala yang terekam hanya kenangan sendiri.

Langit menjadi atap
suntikan dan obat-obatan adalah kawan sepermainan yang membahagiakan.
Senyum merekah untuk saat itu, Sedang kelam menanti dipintu masa depan.

Komentar

Postingan Populer